TV

Dari kurang - lebih 14 KK di sekitar rumah saya, semuanya punya TV. Tak satu pun keluarga yang hidup tanpa kotak ajaib itu. Hebat kan? Padahal semua sudah tahu, TV termasuk benda yang kontra produktif. Alat lahan (lahwun). Para penasehat malah menyebut lebih tegas lagi sebagai terminal lahan. Merujuk sebagai benda yang banyak menyajikan suguhan yang tidak bermanfaat daripada yang bermanfaat. Wasting time, useless dan mengosongkan diri dari pahala dan memubadzirkan waktu untuk cari pahala. Lebih banyak berisikan kemudhorotan dari pada kemanfaatan. Lebih pas disebut pusat tukar perlahanan. Tapi masih saja banyak yang berdalih; ”hiburan,” katanya. Okelah..., kalau berbagai alasan itu yang masih mempertimbangkan kita punya TV. Mudah – mudahan alasan berikut ini bisa menjadikan kita lebih berhati – hati dengan kotak ajaib itu (TV). Setidaknya punya sense, perhatian dan respon lain terhadap TV, terutama terkait dengan penjagaan keimanan, dimana informasi (baca TV) adalah sumber nutrisi ’makanan’ hati dan pikiran.
Dari ’Urs bin Amirah al-Kindi ra, bahwasanya Nabi SAW bersabda, ”Apabila dosa dilakukan di bumi, maka siapa yang menyaksikannya dan membencinya, - didalam riwayat lain disebutkan, lalu dia mengingkarinya – adalah seperti orang yang tidak menyaksikannya. Dan barangsiapa yang tidak menyaksikannya, namun ia merestuinya, maka ia seperti orang yang menyaksikannya.” (Rowahu Abu Dawud)
Cobalah resapi dan baca dengan teliti hadits di atas. Pelan – pelan. Sekali lagi. Kata demi kata. Nah, setelah memahaminya, tentu kita akan berpikir ulang untuk mengunduh acara – acara TV setiap hari. Setidaknya selektif, pilih yang baik saja. Juga kita akan menghimbau (amar ma’ruf) agar keluarga kita juga, setidaknya, untuk mengurangi frekuensi nontonnya.
Selain banyak acara TV yang meracuni pikiran dan alam bawah sadar kita, kebanyakan acaranya adalah ’sampah’ buat kepribadian kita. Coba perhatikan acara infotainment dari pagi, siang, sore seperti insert, waswas, dll. Itu adalah tergolong acara ngrasani. Perhatikan sinetron – sinetronnya, itu adalah kepalsuan dan kebohongan. Pelecehan, asusila dan pembodohan. Reality shownya banyak mengumbar penghinaan, walau ada juga yang baik. Tapi sedikit. Perhatikan acara empat mata/bukan empat mata. Apa yang bikin penonton ketawa? Lawakannya atau komentar komedian Tukul yang suka merendahkan makhluk Tuhan dan berbuat di luar adat ketimuran? Kemudian perhatikan acara kriminalnya? Semakin hari modus operandi pemotongan mayat selalu bertambah dan semakin canggih. Tadinya dipotong tiga, kemudian dipotong tujuh dan selanjutnya dipotong belasan. Ada ekskalasi. Karena secara tidak sadar orang merekam kejadian tersebut. Tatkala kondisi kalut maka muncullah dalam wacana mereka untuk melakukan dengan lebih sadis lagi. Toh sudah ada contohnya.
Kata kunci dalam memahami hadits di atas adalah menyaksikan. Ketika kita melihat suatu kejadian dosa di muka bumi ini, kemudian kita tidak pasang stelan hati untuk membencinya, mengingkarinya berarti kita berada di dalamnya. Hadits ini terkait dengan kewajiban amar – ma’ruf. Padahal kita semua faham bahwa jika kita melihat kemungkaran, maka wajib hukumnya bagi kita untuk merubahnya. Pertama dengan tangan, lisan dan terakhir dengan pengingkaran. Dan jika kita kaji lebih jauh lagi, ketika kita membiarkannya, tanpa respon sedikit pun, tunggulah saatnya Allah akan meratakan siksa tersebut. Laa haula walaa quwwata illa billaah.
Dari Abu Said al-Khudri ra, ia berkata, ’Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda, ”Barangsiapa di antara kalian melihat suatu kemungkaran, maka hendaklah dia merubahnya dengan tangannya, jika dia tidak mampu maka dengan lisannya, dan jika dia tidak mampu maka dengan hatinya, dan yang demikian itu adalah iman yang paling lemah.” (Rowahu Muslim)
Dari hudzaifah ra, dari Nabi SAW, beliau bersabda,”Demi Dzat yang jiwaku ditanganNya, sungguh mengajaklah kalian kepada yang ma’ruf dan mencegahlah dari yang mungkar, atau Allah akan segera menimpakan siksa terhadap kalian, kemudian kalian berdoa kepadaNya dan Dia tidak mengabulkannya.” (Rowahu Tirmidzi)
Lho, itu kan kejadian di belahan bumi lain? Kan kita melihatnya secara tidak langsung? Betul. Salahnya adalah kenapa kita melihatnya? Kenapa kita ’memilih’ menyaksikannya? Bukan masalah itu kejadian di negeri antah berantah. Masalahnya, kenapa kita memilih menonton TV dibanding kegiatan yang lainnya.
Jadi, kalau memang tidak bisa meninggalkan sepenuhnya, setidaknya mengurangi. Niat berpaling. Seandainya belum bisa mengurangi, cobalah mengingkari. Jangan sampai kita jatuh pada pilihan terakhir; menyenangi televisi. Ha...@#*&%! Jangan hanya bengong. Yuk kita mulai.
By Fami, Jamb