Alasan raja Salman membawa sendiri fasilitas pribadi ke Indonesia


Kenapa Raja Salman Membawa  Sendiri Segala Fasilitas  Kunjungannya Ke Indonesia, Sampai Bawa2 Tangga Segala?
 
Tentu kita pernah dengar hadits yang melarang mengambil manfaat tertentu atau fasilitas tertentu, dari seseorang yang kita berikan hutang, walaupun sekedar menumpang pada kendaraannya.

Kaidah Islamnya, Sebagai Berikut:
“Setiap Hutang yang menghasilkan manfaat dan Keuntungan bagi pemberi hutang adalah riba”

Raja Salman statusnya adalah pemberi hutang dan Pemerintah Indonesia statusnya penerima hutang, sehingga rombongan kerajaan tidak diperbolehkan oleh Islam untuk menggunakan berbagai fasilitas dari Pemerintah RI.

Islam menganggap bahwa memberikan hutang termasuk transaksi sosial. Amal soleh yang berpahala. Karena itu, orang yang memberi hutang dilarang mengambil keuntungan karena hutang yang diberikan, apapun bentuknya, selama hutang belum dilunasi.

Sahabat Fudhalah bin Ubaid radhiallahu ‘anhu mengatakan,

كل قرض جر منفعة فهو ربا

“Setiap piutang yang menghasilkan keuntungan maka (keuntungan) itu adalah riba.”

Keuntungan yang dimaksud dalam riwayat di atas mencakup semua bentuk keuntungan, bahkan sampai bentuk keuntungan pelayanan. Dari Abdullah bin Sallam radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan,

إِذَا كَانَ لَكَ عَلَى رَجُلٍ حَقٌّ، فَأَهْدَى إِلَيْكَ حِمْلَ تِبْنٍ، أَوْ حِمْلَ شَعِيرٍ، أَوْ حِمْلَ قَتٍّ، فَلاَ تَأْخُذْهُ فَإِنَّهُ رِبًا

“Apabila kamu menghutangi orang lain, kemudian orang yang dihutangi memberikan fasilitas kepadamu --walaupun sekedar-- membawakan jerami, gandum, atau pakan ternak maka janganlah menerimanya, karena itu riba.” (HR. Bukhari 3814).

Kemudian, diriwayatkan dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu,

إذا أقرض أحدكم قرضا فأهدى له أو حمله على الدابة فلا يركبها ولا يقبله

“Apabila kalian menghutangkan sesuatu kepada orang lain, kemudian (orang yang berhutang) memberi hadiah kepada yang menghutangi atau memberi layanan berupa naik kendaraannya (dengan gratis), janganlah menaikinya dan jangan menerimanya.” (HR. Ibnu Majah 2432).