Oleh: Teddy Suratmadji
WA’BUD Robbaka hattaa ya-tiyakal yaqiin – Beribadahlah kepada Tuhanmu sampai datang ajal.
Itulah tantangan paling besar bagi manusia yang ingin masuk sorga selamat dari neraka: harus ibadah kepada Allah sampai datang ajal mati masing-masing, tidak boleh berhenti barang sejenakpun.
Mengapa itu adalah sebuah tantangan? Karena semuanya berurusan dengan Malaikat Izroil yang tidak mengenal kompromi.
Husnul Khotimah
Pertama, karena mati itu harus “GOOD ENDING”, husnul khotimah – akhir yang baik, sebagaimana perintah Allah ”walaa tamuutunna illaa wa antum muslimuun” – dan janganlah kamu sekalian ketika Izroil mencabut nyawamu kecuali dalam keadaan Muslim, menyerah.
Kedua, karena mati itu “ANYTIME”, datangnya sewaktu-waktu, sebagaimana firman Allah ”idzaa jaa-a ajaluhum laa yasta-khiruuna saa’atan walaa yastaqdimuun” – ketika Izroil datang, tidak ada seorangpun yang bisa menolak supaya memperlambat atau mengundang supaya mempercepat pencabutan nyawa, barang sedetikpun.
Ketiga, karena mati itu “ANYWHERE”, tidak ada tempat menghindar darinya ”walau kuntum fii burujim musyayyadah” – walaupun lari ke bintang di langit lalu dibentengi dengan kerangkeng baja yang super kuat, tidak akan mampu menghindar dari kehadiran Izroil untuk memisahkan nyawa dari jasad.
Bagi Muslim, bukan “Happy Ending” seperti di cerita film yang dicari, melainkan “Good Ending”. Karena mati yang menggembirakan dalam pandangan dunia belum tentu baik di sisi Allah. Misalnya orang kaya setara Qorun yang mati dalam keadaan kaya-raya dan dikelilingi anak-anak isteri-isteri yang hidup bahagia, tetapi ternyata semuanya diperoleh dengan cara-cara yang tidak halal.
Sebaliknya, yang mati dalam pandangan dunia sepertinya mengenaskan, tetapi di sisi Allah justru mulia. Misalnya para syuhada sebagaimana Hamzah paman Nabi yang matinya ditombak musuh, dan jantungnya diambil dan dimakan mentah-mentah oleh Hindun. Padahal rohnya harum dan disambut malaikat untuk disemayamkan di tembolok burung di sorga.
Laa tahsabannalladziina yuqootiluuna fii sabiilillaahi amwaat – janganlah kalian mengira orang yang terbunuh didalam sabilillah itu mati. Roh para syuhada itu hidup dengan luar biasa bahagia. Bahkan mereka memohon kepada Allah dengan sebuah permintaan: minta dihidupkan lagi! Untuk apa? Supaya pergi fii sabiilillah lagi, lalu dibunuh lagi, demi mati sebagai syuhada!
Pengecualian Musa
Satu pengecualian tentang saat kematian hanya bisa dilakukan oleh Nabi Musa yang melawan bahkan menempeleng Izroil ketika Musa hendak dicabut nyawanya. Izroil datang menghadap Allah, mengadu atas kelakuan Musa. Allah kemudian menyuruh Izroil kembali menemui Musa untuk negosiasi.
Kepada Musa dihamparkanlah selembar kulit sapi, dan disuruh menghitung jumlah bulunya. Selembar bulu setara dengan 1 tahun penambahan umur. Pikir Musa, berapa ribu lembar pun jumlah bulu sapi, berapa ribu tahun pun umurnya ditambah, akhirnya nyawa yang dikandung badan akan dipisahkan juga oleh Izroil. Akhirnya Musa menyerah, dan memilih mati saat itu juga.
Jasad mummi Firaun yang diduga hidup sezaman dengan Musa sudah ditemukan, dan dengan teknik ilmu kimia murni ‘paruh waktu’ secara ilmiah umurnya dapat dihitung. Ternyata umur mummi itu 3000 tahun. Ah, andaikan Musa mengambil keputusan lain, dan jumlah bulu sapi saat itu ada 3001 lembar saja. Lumayan, masih ada kesempatan 1 tahun lagi untuk ketemu. Syukurlah, Musa mengambil keputusang yang tepat.
Bertambah vs Berkurang
Pemikiran manusia umumnya terbalik dengan Nabi. Saat milad alias hari ulang tahun, manusia umumnya menyatakan “umur bertambah”. Padahal Nabi mengatakan setiap ganti tahun justru disebutnya “umur berkurang”. Artinya, manusia umumnya “menghitung maju”, sedangkan Nabi “menghitung mundur” atau “count down”.
Count-down adalah seperti ketika pesawat ulang alik akan diluncurkan ke angkasa, maka menara kontrol akan menghitung mundur: ten .. nine .. eight .. seven .. six .. five .. four .. three .. two .. ZERO! dan pesawat pun melesat ke angkasa.
Atau ketika pergantian tahun baru. Pada tanggal 31 Desember jam 23:59 orang-orang yang merayakan akan menghitung mundur: sepuluh .. sembilan .. .. .. tiga .. dua .. satu .. HAPPY NEW YEAR! Sambil terompet dibunyikan sekeras-kerasnya, diikuti pelanggaran dan kemaksiatan lainnya. Itulah makanya generus di kalangan lembaga dakwah dilarang mengikuti acara seperti itu. Lebih baik dikumpulkan di suatu tempat, dan mengaji atau melaksanakan ibadah bentuk lainnya.
Mengapa count-down? Sebab batasnya sudah dipastikan zero alias nol. Sedangkan count-up harus disepakati dulu batasnya: 10? 25? 50? Dst.
Referensi 63 Tahun.
‘Umru ummatii min sittiin ilaa sab’iin sanah – umur ummatku dari 60 sampai 70 tahun, demikian sabda Nabi. Sedangkan usia Nabi sendiri 63 tahun. Nah, karena merupakan sebuah rentang tahun yang terdiri atas 2 angka 60 dan 70, maka sulit untuk melakukan count-down, karena mau angka berapa yang akan dipakai sebagai batas atas?
“Berapa umurnya sekarang, Dik?” tanya Fulan.
“Limapuluh tiga, Mas” jawab Fulen.
“Alhamdulillah, masih ada sepuluh tahun lagi” kata Fulan.
Percakapan diatas sering terjadi diantara anggota lembaga dakwah. Tentunya dalam suasana joke alias bergurau. Memangnya siapa bisa mengatur umur? Namun tanpa disadari, sebetulnya ketika mengatakan ‘masih ada sepuluh tahun lagi’, Fulan sedang melakukan count-down, menghitung mundur dari angka 63.
“Mas sendiri usianya berapa?” balas Fulen.
“Alhamdulillah sudah dapat bonus lima tahun” jawab Fulan.
Tanpa perlu dijelaskan lagi, karena menggunakan angka referensi yang sama, maka umur Fulan adalah 63 plus bonus 5 atau 68 tahun.
Sekali lagi, itu semua dilakukan dalam suasana gurauan. Karena sesungguhnya mati itu kapan saja. Mati muda bahkan di usia anak-anak pantas. Mati tua apalagi.
Menyembah Tanpa Jeda.
Ibadah wajib tidak mengenal masa reses. Sholat lima waktu tidak boleh ditinggalkan walaupun hanya 1 sholatan. Tidak bisa sholat berdiri lakukan dengan duduk. Tidak bisa sholat duduk lakukan dengan berbaring. Tidak bisa sholat berbaring lakukan dengan isyarah. Kalau isyarah pun sudah tidak bisa, berarti orang itu sudah tinggal jasad tanpa roh.
Taat kepada orang-tua tidak mengenal jeda. Dalam situasi dan kondisi apapun, sepanjang tidak memerintah syirik kepada Allah, orang tua wajib dita’ati. Wa wasshoinal insaana bi waalidaihi husna – dan berwasiat kami Allah kepada manusia untuk berbuat baik kepada kedua orang-tua.
Boro-boro mengejek dan berkata sinis apalagi kotor, mengatakan “uffin” alias “ah” dalam bahasa kita saja, dilarang. Walaa taqullahumaa uffin – dan janganlah berkata kepada kedua orang tua “ah!”.
Mengapa tidak boleh mengenal jeda?
Karena jika maut datang menjemput pada saat sedang istirahat full tidak sholat lima waktu sehari saja, misalnya, maka matinya didalam dosa akbar. Man tarokaha faqod kafaro – barangsiapa yang meninggalkan sholat, maka orang itu sudah kufur. Na’uudzu billaah.
Karena ketika maut datang menjemput pada saat sedang bermasalah dengan orang tua, maka matinya didalam mega dosa. Ridlor robbii fii ridlol waliid wa sakhotor robbii fii sakhotol waliid – ridlo Allah bersama ridlo orang-tua dan murka Allah bersama murka orang-tua. Cukuplah Alqomah, seorang sahabat yang hampir saja dibakar karena sakratul mautnya lama sekali, hanya gara-gara ibunya sakit hati, dan belum memaafkannya.
Karena demikian besarnya resiko jeda dalam ibadah, buat apa coba-coba melakukannya? Karena yang jadi pertanyaan besar adalah: apakah saat jeda ibadah itu bisa bebas dari kematian? Bagaimana jika pada saat jeda ibadah tiba-tiba mati datang menjemput?
Jadi untuk apa lagi berani tidak taat kepada Allah, kepada Rasul, kepada Umaro dan kepada orang-tua, walaupun hanya sesaat? Fa aina tadzhabuun? Kemana engkau hendak pergi?